Laman

Rabu, 04 Januari 2012

IBU, CINTAMU ABADI BERSEMAYAM DIHATIKU

  Tak terasa hampir lima tahun ibu telah meninggalkanku untuk selamanya. Ibu banyak menginsirasiku dalam setiap langkah. Walau telah cukup lama perpisahan itu, namun rasanya ibu tak pernah mati, selalu mewarnai hari-hariku, kegigihannya berjuang dengan segenap keterbelakangannya, kesabarannya menghadapi tantangan hidup, semuanya menuntunku dalam melangkah agar selalu bersyukur, hidup ikhlas, pantang menyerah, selalu dalam kesederhanaan.


  Saat itu aku kelas 3 SD, hujan deras sore itu, tak menghambatku untuk menangguhkan kewajiban membantu ibu menagih dagangan ke warung-warung, jam 4 sore hujan semakin deras, petir menyambar di sana-sini, tugasku belum selesai berdiri dengan badan basah kuyup, di depan pintu bu Mitro penjaga SD sebelah sekolah, tak ada pertanda bahwa pemilik warung membukakan pintu, aku tak berani meninggalkan warung tanpa mmebawa pulang uang tagihan dagangan, satu jam, dua jam, kakiku semakin gemetaran tak terasa pipiku menghangat teraliri air mata yang tak terasa bercucuran. Langit kian petang, hujan semakin menjadi, sayup-sayup adzan maghrib berkumandang, aku tetap berdiri gemetaran, tiba-tiba kilat bertubi jatuh didepanku, aku semakin ketakutan, tak seberapa ada perempuan tergopoh-gopoh menghampiriku, dia bulik, adik ibu kesana-kemari mencariku, membawaku pulang, sampai rumah diambang pintu dapur, ibusambil menggendong adik menyambutku melucuti bajuku, memandikan dengan air hangat, mengeringkan dengan handuk tebal, menyelimutiku, mendekapku, sambil menangis,”sabar yo nduk”1) dan diriku cuma bisa mengangguk dengan hati yang hangat.

  Seminggu kemudian, ashar telah berlalu ibu bersama pengasuh adik (mak Kidul), menghampiriku yang sedang duduk sendirian di bangku belakang rumah, ibu membelai rambutku dari belakang, “ikutlah mak Kidul” lalu tak seberapa lama sampailah aku di rumah mak Kidul yang tidak jauh dari rumah. Aku diajak ke kamar, aku tidak mengerti mau apa, yang jelas mak Kidul mengambil bungkusan plastik dari almari, aku tak mengerti, mak Kidul membuka bungkusan itu merentangkan, sebuah baju hangat panjang rajutan halus, berwarna dasar coklat motiv bertabur kotak-kotak kecil berwana cream, “ini punyamu, ibumu membeli ini secara kredit dari mindreng2) , disimpan di sini karena ibumu takut dimarahi bapakmu, ibumu dilarang membelikan apapun untukmu,”  aku tersentak, aku menangis, aku menangis atas perjuangan ibu yang  ingin memperjuangkan hak yang sama anak-anaknya, aku terdiam rasanya hatiku saat itu berhimpitan dengan ibu.

  Waktu terus merangkak, aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagia, keinginan untuk selalu memakai baju hangat itu sangat menggoda dan hari naas itu menghampiri aku dan ibuku. Tanpa kusadari ayah melihatku ketika suatu sore aku kenakan baju itu, ayah diam namun itu adalah mala petaka bagi ibuku, hari berikutnya ayah marah luar biasa kepada ibu, aku menyaksikan dan mendengar makian-makian ayah terhadap ibu, ibu hanya diam, menunduk tanpa daya, aku hanya menangis sambil ngumpet menyaksikan semuanya. Aku merasa bersalah, membuat ibu tersakiti. Dan sejak saat itu, aku tak lagi dapat menemukan baju itu, apalagi mengenakannya.

  Ibu telah tiada, jasadnya telah kembali ke bumi, namun jiwanya, cintanya tak penah mati, selalu hidup dan bersanding dihatiku, mendampingi perjalananku.


1) nduk = seputan anak prempuan di jawa
2) Mendreng = penjual barang secara kredit di kampung-kampung, biasanya barang-barang sekunder.

Lembah tidar, 21 Desember 2011

BIODATA PENULIS

Fath WS bernama asli Siti Fatonah binti Harjo Pawiro, lahir di Magelang 21 Agustus 1966, aktif nulis puisi sejak bangku SD, pernah aktif dalam Polaris Baca Puisi dan membaca puisi di beberapa pagelaran Teater Fajar UMM. DI tengah kesibukannya sebagai aparat pemerintah di Pemerintah Kota Magelang, selalu menyempatkan menulis, karena Puisi merupakan bagian hidup.

 Karya : Fath WS
Edited by : www.faktakita.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar