Diingatnya memori masa lalu
dengan tatapan kosong, dipenuhi pikirannya dengan angan-angan, terlapis
kebimbangan seakan berperang melawan waktu. Masih tersisa kenangan indah tiga
tahun lalu. Ketika dengan cerianya dia melihat buah hati berumur tujuh bulan
bermain di halaman belakang rumah bercat putih bernuansa natural. Dengan sabar
dibimbingnya untuk berdiri, menggapai asa yang terpendam, meski tak bisa
diucapkan secara lisan. Kata-kata manis keluar dari bibir ibunya yang merah,
membuat anaknya percaya tidak akan ada hambatan di depan yang menghalangi laju
harapan.
Waktu menunjukkan pukul empat
sore ketika seorang laki-laki tampan, bertubuh tinggi tegap, rambut tertata
rapi, dan menggunakan setelan jas yang dikenakannya setelah pulang dari kerja
di kantor. Disambutnya oleh istri tercinta dengan penuh rasa sayang. Wawan dan
Eny adalah sepasang suami istri yang mempunyai seorang anak laki-laki bernama
Rio, dan akan bertambah lagi seorang anggota keluarganya yang masih ada di alam
kandungan, mendiami rahim ibunya selama dua bulan terakhir.
Hari-hari keluarga tersebut
berlangsung dengan tenang, damai, dan tentram. Selalu diluangkan waktu untuk
bercengkerama dan saling melengkapi satu sama lain seperti sepasang sepatu yang
melangkah bersama, yang tidak berguna lagi ketika salah satunya menghilang.
Hingga tiba suatu saat, hari-hari yang membekas dalam kenangan lembar
kehidupan, perlahan-lahan memudar, diterpa air keruh menghapus memori masa
lalu, melenyapkan warna-warni kehidupan, menghilangkan asa yang terpendam di
dalam lubuk yang paling dalam.
Wajah pucat
Eny membuat Wawan khawatir. Apalagi beberapa hari terakhir badannya terasa
lemah, semakin kurus, dan demam yang tinggi. Segera Wawan membawanya ke rumah
sakit. Dua orang perawat membawa Eny ke sebuah ruangan untuk diperiksa dokter,
sedangkan Wawan menunggu dengan harap-harap cemas di lobi ruang tengah. Kadang
terucap doa di bibirnya, mengiringi langkah kaki istrinya.
Setelah
beberapa lama menunggu, datanglah seorang dokter menghampiri Wawan. Tatapan matanya
mengisyaratkan kesedihan. Dokter itu membisikkan sesuatu di telinga Wawan, dan
entah mengapa setelah mendengarnya, kedua orang tersebut melangkah bersama ke
sebuah ruangan berjarak beberapa blok dari ruang tengah yang belakangan
diketahui Wawan adalah milik dokter tersebut.
Wawan dan
dokter Hari, terpampang jelas dari ukiran papan nama bertuliskan dr. Hari
Wicaksono, Sp.KK, duduk
berhadapan di sebuah meja kayu persegi berwarna coklat.
“Sebelumnya
saya minta maaf, Pak. Saya sangat menyesal untuk mengatakan, tapi ini penting
untuk diberitahukan. Istri Anda saya diagnosa menderita penyakit AIDS, saya
ragu dia dapat bertahan hidup lebih dari empat tahun mendatang. Semoga Bapak
diberi ketabahan untuk menjalaninya”, ujar dokter tersebut.
Mendengar
vonis dokter Hari, telinga Wawan bagai disambar petir, kepalanya seakan
dihujani batu sehingga tidak ada lagi yang bisa dipikirkan, selain nasib
istrinya yang lembut, penuh kasih dan
sayang, nasibnya, dan nasib anaknya kelak. Tidak ada lagi tempat baginya untuk
menyalahkan keadaan, yang bisa dilakukannya hanyalah pasrah menerima semua
takdir. Bagaimana bisa istri yang sangat dicintainya menderita AIDS sedangkan
berhubungan dengan laki-laki lain pun tidak pernah. Wawan sendiri juga tidak
menderita penyakit serupa. Eny yang dia kenal adalah sosok yang setia dan
perhatian, pandai menyenangkan hati suami dan anaknya.
Belakangan
diketahui Wawan, istrinya terjangkit AIDS karena pendonoran darah. Dulu, Eny
mengalami kecelakaan sehingga mengakibatkan pendarahan hebat yang memaksanya
untuk menjadi resipien. Entah karena keteledoran perawat waktu itu, darah yang
didonorkan kepada Eny terinfeksi HIV.
Beberapa
bulan setelah Eny mengetahui ganasnya penyakit yang dideritanya, yang siap
menebas nyawanya hidup-hidup, dia meminta cerai kepada suaminya karena tidak
sanggup lagi hidup hanya sebagai parasit yang suatu saat suami atau anaknya
dapat tertular, meski mereka masih sayang dan membutuhkan Eny. Dengan terpaksa,
Wawan melepas cinta dengan menceraikan istrinya, sedangkan Rio menjadi tanggung
jawab ayahnya.
Setelah menelan dua kenyataan
pahit, divonis menderita AIDS dan berpisah dengan keluarganya, Eny mengalami
keguguran akibat depresi berat yang ditanggungnya. Janin yang dikandung
meninggalkannya menghadap Tuhan.
Beberapa bulan hidup dengan
kesengsaraan, tidak ada seorang pun yang peduli terhadapnya, karena memang itu
yang diharapkannya, membuat Eny merasa
tersiksa. Dia berniat mengubah hidupnya. Anggapan parasit dibuangnya jauh-jauh.
Perlahan-lahan dia mulai tersenyum, semangat yang menggelora kembali memenuhi
dadanya. Eny sekarang kembali seperti dulu.
Eny menjadi ketua Aktivis Anti
AIDS, menyemangati orang lain yang menderita dan mencegah sebelum orang lain
menderita seperti dirinya. Karena dalam pikirannya, dia berkeyakinan harapan
itu masih ada, selama orang masih merasa perlu, masih merasa menginginkannya.
Tak pernah
dirasa lelah olehnya untuk menggelar acara sosialisasi pencegahan penyakit AIDS
yang menyerang kekebalan tubuh, tak malu pula dia menceritakan pengalaman
hidupnya, dia hanya berharap orang lain dapat belajar darinya, jangan sampai
menyesal nantinya. Eny bagai lilin yang menerangi, meski dirinya sendiri rapuh
dan luluh. Dia tidak tahu akan sampai angka berapakah umurnya, kecuali Sang
Khalik Yang Maha Berkehendak, alasan itulah yang memacu untuk memanfaatkan
semaksimal mungkin waktu yang tersisa selama hayat masih dikandung badan. Yang
dia tahu hanyalah, bahwa kasihnya mengalir abadi pada orang yang mencintainya,
orang yang rindu akan keberadaannya. Tidak dipikirkannya hal buruk apakah yang
akan menimpa satu tahun mendatang.
Unsur intrinsik cerita pendek
“Kasih yang Abadi” :
·
Tema :
Perjalanan Hidup
·
Judul :
Kasih yang Abadi
·
Tokoh dan Perwatakan :
Eny : Sabar, penuh kasih sayang, lembut, bersemangat
Wawan : Mencintai apa adanya, sabar, tabah, ikhlas
Dokter : Perhatian
·
Alur :
Campuran
·
Sudut pandang :
Orang ketiga
·
Gaya bahasa :
Hiperbola
·
Latar tempat :
Rumah Eny dan Wawan, rumah sakit
·
Latar waktu :
Masa lalu, suatu hari, pagi, siang, dan malam
·
Latar suasana :
Gembira, tenang, tegang, pilu, sedih
·
Amanat : Kehidupan adalah ciptaan Tuhan, begitu juga dengan waktu. Jalani kehidupan sesuai hati nurani, sebelum
waktu mengakhiri semua asa. Lewati setiap tindakan dengan hati-hati, karena sesal
kemudian tiada berguna.
Oleh : Tunggul Wicaksono
X2 / 30
Animated by :
www.faktakita.com
cerpennya murid ya, pak?? sip...!
BalasHapusCerpennya temen boss..
BalasHapushahaha
kayaknya ada yang perlu direvisi deh
BalasHapusiyaa, aku ralat kang cerpennya..
Hapusbentar yaa