Laman

Rabu, 04 Januari 2012

Kita Sendirian di Dunia Ini (Bagian Kedua)

Gian duduk bersimpuh di hadapan ibunya. Dia menyadari, meminta izin pergi kepada ibunya bukanlah sesuatu yang mudah. Dan benar saja, yang didapat Gian hanyalah omelan panjang bertubi-tubi. Ibu Gian adalah seorang yang benar-benar dingin jika dihadapkan dengan pemakaian uang belanja.

        “besok kartu ATM mu ibu blokir, jangan harap kau bisa menghabiskan uangku” sergah ibu gian galak.

        “itu uang tabunganku bu, bukankah aku selalu berhemat?. aku selalu memakai bis jika ingin kemana-mana. Aku tidak punya kendaraan sendiri seperti teman yang lain.” Kata Gian memelas.


        “LALU, itu semua demi gadis sekarat itu? Wah, lucu sekali kau ini.” Kata ibunya sinis.

Gian menatap ibunya marah. Jika itu orang lain, Gian akan segera memukulnya. Tapi itu adalah ibunya sendiri, dia segera membuang jauh pikiran itu. Saat ini Gian benar-benar kehabisan cara bagaimana meyakinkan ibunya. Namun ayah Gian mendengar pembicaraan itu dan turun dari lantai atas rumah itu.

        “Gian… apa kau benar-benar serius tentang perjalanan ini?” suara ayah gian terdengar tenang.

        “iya ayah. Aku memohon dengan sangat. Setelah ini aku akan bekerja mati-matian untuk membayar semuanya.” Gian bertekuk lutut meminta pada ayahnya.

        “hufh, ini bukan tentang uang, Anakku. Apa kau seserius  itu dengan teman wanitamu itu?” ayah gian tersenyum padanya.

        “a..aku… kurasa..” gian diam sesaat “ayah aku rasa mengerti bagaimana rasanya. Ingin memberikan bahagia pada…” Gian terguncang kembali. Rasa sesak itu datang lagi. Nafasnya terasa berat disaat dia mengenang Fia.

        “Ayah, katakan padaku. Kapan aku pernah meminta sesuatu yang lebih padamu?. Kendaraan, gadget, Hiburan malam, bahkan pendidikan yang mahal. Aku tak pernah meminta apapun sebelumnya. Izinkan kali ini aku pergi sebentar ayah…” Gian bergetar saat menyebutkan kata sebentar.

        Sebentar adalah kata yang hampir sama dengan usia Fia saat ini. Membayangkan wajah Fia yang selalu bermake-up tebal demi menutupi wajahnya yang terlihat pucat sakit selalu membuat Gian menderita. Sebentar adalah waktu singkat yang belum pasti kapan berakhir. Namun itu bisa saja terjadi dalam hitungan detik. Sebentar, adalah kata yang keliru bagi Gian.

        Ayah gian melihat kearah istrinya. Dia menganggukan kepala kearah ibu gian. Lalu tersenyum kepada gian dan membantu gian bangkit dari duduknya. Dia memeluk anak lelakinya itu. Betapa bangga dirinya melihat anaknya yang selalu dipikir masih bayi olehnya. Betapa selama ini dia merasa telah melewatkan anak lelakinya telah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa. Dia lalu berbisik pada anaknya.

       “Gian, ingatlah kata-kata ini. Cinta dan kasih sayang adalah alasan untuk membuat orang lain bahagia. Dan jangan pernah menjadikan cinta sebagai alasan untuk melukai diri sendiri.” Lalu ayah gian melepaskan pelukannya. Ditatapnya sekali lagi mata anaknya yang mulai berair itu.

        “Pergilah. Bahagiakan dia.” kata beliau. Gian mengangguk penuh kegembiraan.

                                                                                 ***

        Jam tiga, sore hari berikutnya. Bandara itu dipenuhi orang-orang yang sibuk menunggu. Menunggu keberangkatan, menunggu seseorang yang ingin dijemput. Ada mengucapkan perpisahan, ada pula yang saling menyambut kedatangan. Tapi gian disini bukan menunggu jadwal keberangkatannya. Dia menunggu fia. Satu jam lebih awal daripada seharusnya.

        Waktu terasa lambat dalam penantian Gian. Namun semua hutang bahagianya rasanya sebentar lagi akan terbalas. Bukankah selama ini Fia adalah satu-satunya orang yang membuat dirinya bahagia. Gadis pembohong itu, entah bagaimana telah membuat Gian jatuh hati. Dalam kenangan gian, Fia dan dirinya selalu berada di dalam kejadian yang unik.

        Menunggu matahari tahun baru berdua. Jam-jam yang terhitung lagi saat saling menelpon. Saling mengejek. Bertengkar, lalu berdamai kembali seperti sepasang kekasih. Ini adalah pertama kalinya Gian jatuh hati. Dan itu membuat semua logikanya lumpuh. Di tolak berapa kalipun gian tak peduli. Dimusuhi, dimanfaatkan, dan hal-hal yang menyedihkan lainnya dia sama sekali tak peduli.

        Karena ada momen yang membuat gian percaya bahwa Fia jujur. Ada momen dimana Fia benar-benar lembut dan menyayangi dirinya. Ada momen yang tak terhitung tentang kesedihan yang disembunyikan Fia melalui kebohongannya. Dan Gian sudah mengetahuinya, setiap Fia berbohong matanya mengedip lalu memandang kearah lain. Gian percaya, bahwa gadis pembohong itupun sebenarnya hanya seorang gadis yang pura-pura Tegar menghadapi hidupnya yang tak adil padanya.

        Dua jam berlalu, sekarang sudah pukul 5 sore. Tapi Fia belum juga datang. Gian sudah mulai gelisah. Apa sesuatu terjadi pada fia?. Begitu pikirnya. Namun ketika dia telah menunggu hingga pukul 6 sore, akhirnya Gian menyerah menununggu. Segera dia meninggalkan bandara itu.                                                                            

                                                                                 ***

         Banyak gambaran yang buruk berputar-putar di kepala gian. Dan tidak satupun terpikir olehnya alasan yang baik tentang Fia. Taksi yang di tumpangi Gian dipaksanya untuk mempercepat laju. Asrama putri tempat Fia tinggal masih sangat jauh dari bandara. Dan Gian tak ingin lagi harus menunggu terlalu lama untuk bertemu dengan Fia.

          Asrama itu terlihat sepi karena malam hari telah datang menyusup dilangit. Meski di langit masih ada bias putih cahaya matahari, namun sebagian bintang sudah bertengger di balik awan. Dingin pun mulai bertiup di sela-sela pohon rambutan besar yang ada didepan asrama putri tempat fia tinggal. Gian mempercepat langkahnya menuju pintu depan asrama itu.

          Gian memencet bel yang ada disamping pintu besar asrama itu. Setelah menunggu sesaat, lalu wanita separuh baya membukakan pintu untuk gian. Gian berbicara dengan wanita itu. Gian yang berpenampilan kusam karena terlalu lama menunggu itu, semakin kusam. Pernyataan yang didapat dari wanita yang merupakan induk semang asrama itu benar-benar jauh diluar hal buruk yang di bayangkan gian. Gian yang sedang mendengar cerita dari wanita itu hanya bisa menggigit kuku jari jempolnya kuat-kuat.

          Lalu pemuda yang terlihat garang itu berjalan meninggalkan asrama itu dengan gontai. Gian ingin merebahkan tubuhnya di jalanan di depan asrama itu. Dia berharap sebuah mobil akan menabraknya, lalu sakit di seluruh dadanya bisa hilang. Atau bumi bisa menelan dirinya, agar rasa malu itu hilang. Bagaimana bisa gadis itu telah membohongi dirinya LAGI.


                                                                                   ***


         “Bukankah Fia pulang bersamamu pagi ini?” kalimat ibu tadi mulai terdengar kembali didalam kepala gian.

         “Fia pulang dengan penerbangan pertama, nak Gian. Katanya kamu akan mengantarnya pulang. Katanya kalian akan pulang bersama kerumah Kakeknya dikampung halaman. Lalu, saat ibu tanya dimana kampung halamannya dia menjawab Banjarmasin. Tapi, kau tahu, dia menyebutkan nama kampung halaman yang berbeda setiap kali ada yang bertanya dimana kampung halamannya. Semua sahabatnya di asrama inipun berkata yang sama. sebagian menyebutkan dia berasal dari Makassar, ada yang bilang dia dari Mataram, dan sebagian lagi percaya kalau dia berasal dari aceh.”

Cerita itu benar-benar memukul kepala Gian hingga pusing sekali. Gian juga pernah bertanya hal yang sama pada Fia. Tapi yang selalu dia dapat hanyalah jawaban.

         “aku dari Medan. Tapi sekarang ibuku tinggal di palembang. Dan ayahku dari surabaya.” Setelah itu mata Fia mengedip dan dia membuang pandangannya kearah lain.

         Sekarang, Gian hanya mampu merebahkan tubuhnya di taman kecil didepan asrama putri itu. Belum ada jawaban di kepalanya malam ini. Dia terlalu lelah seperti telah lari maraton tanpa henti. Mungkinkah besok jawaban itu ditemukan?.


(Bersambung...) >>> Bagian Terakhir

                                                                                 ***


Segila apa cinta itu?
Apa yang membuatnya mampu bertahan dari derita yang selalu melekat?
Mengapa kewarasan tidak membuat kita menjauhi dan membenci cinta?
Mengapa kita rela jatuh cinta lagi?, bukankah dulu kita pernah merasakan neraka dunia karenanya?
Mengapa kita tidak ingin belajar untuk sendiri selamanya?
Apakah kesendirian dan kesepian itu lebih menakutkan daripada derita yang kita dapat dari cinta yang gagal?


Sumber : Kumpulan Cerpen dan Puisi (Facebook)
Edited by : www.faktakita.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar