Laman

Minggu, 12 Oktober 2014

Yang katanya "Sosial"? Atau "So[k]sial"?

  Alkisah, suatu hari di sebuah kerajaan hiduplah banyak hamba-hamba kerajaan tersebut. Ada pembagian kasta disana, kasta unggulan yang berarti mereka yang sudah masuk lebih dahulu dan bertahan di kerajaan tersebut dan kasta kedua yang berarti mereka yang baru menjadi hamba-hamba baru dari kerajaan tersebut. Dan disinilah angkara murka merasuki keadaan..


  Untuk mempererat hubungan antara sesama kerajaan, diadakanlah pertadingan tradisional berupa sepak takraw. Kerajaan "monitor" sebut saja. Pertama-tama kerajaan tersebut berhasil memenangkan pertandingan bergengsi tersebut. Padahal sudah diprediksi sebelumnya bahwa kerajaan tersebut akan kalah saing dari kerajaan lainnya karena memang basic mereka bukan pada kegiatan fisik. Berbahagialah pemain kerajaan monitor tersebut karena berhasil memecahkan anggapan buruk selama ini bahkan berhasil memperoleh skor yang sangat jauh dari lawannya. Mereka juga tak lepas dari dukungan para hamba-hamba yang juga memperjuangkan nasibnya disana.

  Tibalah pada pertandingan kedua, dimana kali ini mereka para tim dari kerajaan monitor berjuang melawan kerajaan yang lainnya. Pertandingan pun berjalan seru. Berharap bahwa ini menjadi titik balik sehingga mereka bisa menang. Namun nasib baik kini tak ada di pihak kerajaan monitor. Mereka kalah jauh dari lawannya. Sang pemain pun frustasi dan mulai mencari alasan supaya mereka bisa dikatakan "kalah dengan alasan". Pura-pura sakit misalnya. Beberapa pemain setelah pertandingan tersebut mulai pura-pura sakit agar sang raja monitor dan para hamba berbelas kasihan pada mereka. Beberapa diantara mereka juga mulai mempermasalahkan hamba-hamba lain yang tidak mendukung mereka saat pertandingan. 

  "TIDAK SOSIAL!, masa ini yang dinamakan satu kerajaan! Apa tidak ada rasa sosial dan peduli?!", kata mereka sebagai alasan. Juga kalimat kasar dan juga kalimat "hewan-hewanan" mulai berkeluaran. Ajang sindir menyindir antara pemain dengan hamba lain pun terjadi. Mereka para pemain beranggapan bahwa hamba-hamba lainnya hanya enak-enakan, yang padahal hamba-hamba lainnya sedang mengurus ternak dan bercocok tanam demi masa panen yang akan segera tiba di kerajaan monitor. Tanpa panen, kerajaan monitor tidak akan bisa bertahan dalam musim kemarau ini, bahkan nama kerajaan tersebut bisa rusak apabila kabar tersebut didengar oleh bangsa lainnya. Pemain tersebut merasa karena "sial" mendapatkan kekalahan dan kata kasar terus berkeluaran dari mulut pemain kerajaan monitor secara terus menerus, menyudutkan hamba lainnya karena mereka menganggap hamba lainnya "Tidak Sosial"

Lalu apa yang akan dibahas dalam postingan ini?

  Kita bersama-sama akan merenungkan makna "sosial" saat ini. Sebenarnya apa sih arti sosial itu? Menurut Ruth Aylett, sosial adalah sesuatu yang dipahami sebagai sebuah perbedaan namun tetap inheren dan terintegrasi. Sang pemain yang marah karena hamba lainnya tidak mendukung secara langsung pada pertandingan tersebut adalah masalah utamanya. Seorang pemain harus siap menang maupun kalah, itulah resiko seorang pemain dalam pertandingan. Kata "Tidak Sosial" yang dilontarkan kepada hamba lainnya bukan merupakan jalan keluar, justru sebagai alasan supaya tidak kalah secara memalukan karena ada alasan.

  Sosial adalah keadaan dimana semua perbedaan terjadi dan menjadi harmonis. Sosial berarti hidup diantara perbedaan, apapun itu. Apakah mereka sebagai pemain tidak sadar dan berkaca diri tentang apa yang mereka lontarkan? "Tidak Sosial!", apabila semua hamba mendukung secara langsung, bagaimana dengan panen di kerajaan tersebut? Pasti akan terjadi gagal panen yang berlebih. Juga terjadi pertahanan yang rusak, karena para penjaga juga ikut menonton dan mengabaikan tugasnya.

 Kata "Tidak Sosial" seharusnya kembali ke pribadi masing-masing pemain. Mereka hidup diantara perbedaan. Beda suku, agama, ras, kepentingan, dan budaya. Kalimat kasar yang mereka lontarkan, apalagi yang "hewan-hewanan" tidak seharusnya diucapkan. Kejadian tersebut terbukti bahwa mereka tidak dapat menerima perbedaan kepentingan dari masing-masing hamba. Juga budaya! Tidak semua hamba bisa menerima kalimat kasar tersebut karena latar belakang budaya mereka yang mungkin halus dan juga tidak suka terhadap kekasaran tata bahasa. Ketika tata bahasa tidak bisa ditata secara sopan dan baik untuk kenyamanan hati pendengarnya, itulah yang dinamakan ANTI SOSIAL. Tidak ingin mengerti apa yang dirasakan pendengarnya, hanya asal omong tanpa berpikir, emosi sesaat dan kalah dengan mencari alasan. Pemain seharusnya tidak terlihat sebagai "sok sial" sehingga bisa mencari alasan untuk menutupi kesalahannya.

  Sebaiknya, antara pemain tersebut ke depannya harus siap dengan keadaan yang ada. Bertanding berarti siap menang dan kalah. Tak perlu ada alasan apalagi menyakiti perasaan orang lain. Apabila tidak siap kalah, lebih baik tidak usah bertanding. Sikap sosial berupa tata bahasa juga harus diperhatikan, agar tidak "Sok tau" menjadikan pemain tersebut terkena bumerang "Tidak Sosial" nya sendiri. Walaupun sang pemain tersebut tidak menyadarinya dan menyudutkan hamba lain, sebaiknya mereka BERKACA TERLEBIH DAHULU dan tidak menerapkan "Sok Sial" supaya semua kepentingan dalam kerajaan tersebut juga tercapai.

"Orang berhasil adalah mereka yang berhenti mencari-cari alasan 
untuk menutupi kegagalannya"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar