Diagnosa penyakit asma menggunakan Gas Chromatography
(GC) membutuhkan biaya yang sangat mahal. Kondisi ini mengilhami Dr Ir Hari Agus
Sujono MSc untuk mengembangkan metode diagnosa udara pernapasan menggunakan
Hidung Elektronik dalam disertasi doktoralnya di Departemen Teknik Elektro
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Bahkan, Hari mengklaim hasil penelitian yang dilaksanakan
sejak tahun 2009 ini mampu menghemat sampai 90 persen biaya diagnosa penyakit
asma. Ia menjelaskan, hingga saat ini pengembangan teknologi pemantauan medis
dan metode diagnosa yang biasa digunakan masih didasarkan pada komposisi cairan
pada manusia seperti darah dan urin.
“Meskipun cara tersebut memiliki akurasi yang sangat
tinggi serta biaya yang terjangkau, namun memerlukan waktu yang lama dan
berbahaya bagi pasien dan petugas,” papar pria yang juga memperoleh gelar
sarjananya di ITS ini.
Metode diagnosa lain yang sedang berkembang saat ini
adalah metode diagnosa udara pernapasan. Metode ini memanfaatkan sampel udara
yang diambil dari pasien yang kemudian dianalisis untuk mengetahui perubahan
konsentrasi senyawa tertentu. Saat ini, diagnosa udara pernapasan membutuhkan
GC, yang mana dapat mendiskriminasi dan mengidentifikasi molekul-molekul yang
ada dalam campuran gas.
Pria kelahiran Kediri ini menyayangkan biaya yang
harus dikeluarkan untuk melakukan diagnosa dengan metode ini. Karena bisa menyentuh
kisaran puluhan juta rupiah, dan menurutnya biaya tersebut sangat mahal. Selain
itu, proses pengambilan sampel dan pengujiannya pun rumit.
Oleh karena itu, di bawah bimbingan Dr Muhammad Rivai
ST MT dan Prof Dr Muhammad Amin dr SpP(K), dosen tetap Institut Teknologi Adhi
Tama Surabaya (ITATS) ini mengusulkan alternatif lain yang lebih murah dan
bersifat portabel, yakni Hidung Elektronik. “Dengan menggunakan deret sensor
gas dan Support Vector Machine (SVM),
sistem ini mampu bekerja dengan cepat dalam menirukan cara kerja manusia,”
klaimnya.
Hari memaparkan, Hidung Elektronik yang ia kembangkan
dalam penelitian ini menggunakan tujuh buah sensor gas tipe Metal Oxide
Semiconductor (MOS), di antaranya sensor Karbondioksida (CO2), Karbon Monoksida
(CO), Hidrogen (H2), NO, H2S, NH3, dan VOC. “Setiap sensor digunakan untuk
mendeteksi senyawa-senyawa di dalam udara pernapasan yang mengindikasikan
adanya asma pada subjek,” jelasnya.
Alat ini, lanjut Hari, beroperasi dalam tiga tahap
untuk menghasilkan keseluruhan respon sensor dengan total 150 detik. “Hasil ini
tentu lebih cepat daripada diagnosa menggunakan GC yang memerlukan waktu
beberapa hari,” tandasnya.
Selain itu, menurut Hari, dengan alat ini biaya yang
dikeluarkan oleh pasien dapat ditekan bahkan sampai 90 persen. Namun, Hari juga
menyadari bahwa alat yang ia kembangkan masih perlu banyak peningkatan,
terutama pada sensitivitas dan selektivitas dari sensor yang digunakan.
Hari berharap alat yang ia kembangkan dapat
dioptimalkan lagi sehingga dapat segera digunakan oleh masyarakat dan mampu
memberikan informasi mengenai kondisi pasien yang menderita penyakit asma
dengan lebih akurat dan tentunya dengan biaya yang terjangkau. (rur/HUMAS ITS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar